Selasa, 24 Januari 2017

Warisan Cita-Cita

Beberapa kali kita melihat anak pejabat/mantan pejabat  dicalonkan dalam Pilkada ataupun Pemilu. Suatu hal yang lumrah bahwa kita ingin masa depan lebih baik, hal tersebut terkadang juga diterapkan untuk anak kita, kita ingin anak kita memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan orang tuanya, karir yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, harta yang lebih banyak, rumah yang lebih bagus, kendaraan yang lebih mewah, dst ....atau setidaknya menyamai/setingkat dengan orang tuanya....Secara simpel kita ingin anak kita bisa dibanggakan.

Menurutu KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) cita-cita [1] adalah :
  1. Keinginan yang selalu ada di dalam pikiran.
  2. Tujuan yang sempurna (yang akan dicapai atau dilaksanakan).
Kadang orang tua mengutarakannya secara lisan:
"Nak nanti besar sekolah di kedokteran ya"
"nanti kerja di perusahaan minyak ya"
"nanti kamu masuk partai ya....meneruskan karir politik ayah"
“kamu kuliah di ekonomi ya...biar bisa meneruskan bisnis keluarga”
Terkadang kita lihat keadaan yang kontradiktif, orang yang sudah dianggap berhasil dalam karir, pendidikan dan ekonomi oleh orang-orang disekitarnya, tetapi masih dianggap kurang berhasil oleh orang tuanya, hal ini disebabkan kelas ekonomi/karir/pendidikan orang tuanya masih lebih tinggi dibandingkan anaknya. Sebagai ilustrasi, kalau orang tuanya Camat, dia ingin anaknya menjadi Bupati. Kalau orang tuanya Bupati ingin anaknya mejadi Gubernur, dst.

Kadang, kekhawatiran orang tua bahwa anaknya tidak mendapatkan sekolah (pendidikan) ataupun pekerjaan (karir) yang bisa dibanggakan, membuat hal-hal seperti ini bisa terjadi:
  1. https://bit.ly/2LPENEK   [2]
  2. https://bit.ly/2ClfTh9       [3] 
  3. https://bit.ly/2C9t7x3      [4]
    Pertumbuhan (jumlah) penduduk yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan (jumlah) lapangan kerja ataupun sarana pendidikan. Persaingan untuk memperoleh pendidikan/lapangan kerja semakin ketat.

    Berbeda dengan negara-negara maju, pertumbuhan penduduknya cenderung tetap, bahkan negatif. Walapun jumlah lapangan kerja tidak bertambah, jumlah angkatan kerja semakin menurun, sehingga pengangguran relatif rendah, sebagian dari mereka bahkan tidak tertarik dengan segmen pekerjaan tertentu seperti misalnya buruh pabrik, tukang batu, pekerja pekerbunan, cleaning service, sopir, sehingga pekerjaan-pekerjaan tersebut diisi oleh orang-orang asing (expatriate).

    Sebagaimana di negara kita, Kalangan terdidik (S1 - S3) cenderung gengsi untuk mengambil pekerjaan tertentu, yang bisa diisi pekerja tanpa pendidikan tinggi. Memang sangat butuh keberanian untuk melawan gengsi untuk mengambil pekerjaan seperti: Pedagang kecil, tukang ojek, buruh pabrik. Kalangan terdidik cenderung memilih menganggur daripada mengambil pekerjaan yang gensinya kurang.

    Note:
    1. Jikalau dalam pendaftaran dan seleksi suatu pekerjaan atau pendidikan (ikatan dinas) kita mengeluarkan dana ratusan juta, sebenernya kita sedang daftar seleksi atau ndaftar MLM, bisa dibayangkan berapa bonus yang didapatkan para upline-nya.
    2. Gaya hidup mewah para upline ini kadang memunculkan generasi yang tertipu, mereka mengira pekerjaan/jabatan tertentu menjanjikan kekayaan, merekapun mendaftar sebagai downline dengan biaya yang banyak, tetapi ternyata gajinya sedikit.
    3. Berhasil lolos seleksi pada sekolah ber-ikatan dinas, bagaikan berhasil mendapatkan pekerjaan.
    4. Bukan hal yang mudah bagi kita untuk menghadapi godaan membantu anak secara ilegal, terutama bila kita mempunyai uang/pengaruh, karena kita cenderung malu bila anak kita tidak memiliki pendidikan/pekerjaan yang baik.
    5. Dalam suap terkandung banyak unsur kezaliman, seperti mengambil hak orang lain, memengaruhi keputusan penguasa sehingga merugikan pihak lain. Bagi pemberi diperbolehkan jika tidak memberikan suap, dia tidak akan mendapatkan haknya atau akan diperlakukan secara zalim. Sedangkan, bagi penerima hukumnya haram karena dia tidak berhak menerima hal itu. Misalnya, seseorang yang mengurus sesuatu ke aparat pemerintahan. Sang aparat tidak akan mengurus kebutuhannya jika tidak diberi suap [5].
    Referensi:
    [1] http://kbbi.web.id/cita
    [2] http://news.okezone.com
    [3] http://nasional.republika.co.id
    [4] http://www.jpnn.com
    [5] http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/16/04/22/o60ws617-suap-karena-terpaksa-bolehkah