Jumat, 05 Oktober 2018

Introduksi PLTN di Bangladesh, How they did it?

Bangladesh adalah sebuah negara berkembang yang terletak di Asia Selatan [1]. Sebuah negara demokratis (bukan otoriter), Pemerintah Bangladesh berhasil meyakinkan rakyatnya untuk membangun PLTN di negerinya [2].

Ada pertanyaan menggelitik di benak saya:
Bagaimana pemerintahan Bangladesh bisa meyakinkan rakyatnya untuk membangun PLTN? dengan kata lain bagaimana rakyat Bangladesh bisa percaya bahwa proyek besar bernama PLTN tersebut dapat bermanfaat bagi mereka? Mengapa Indonesia belum berhasil meyakinkan rakyatnya?
Sebelum membahas itu semua, ada baiknya kita lihat perbandingan Indonesia dan Bangladesh:
Luas Wilayah
Luas Wilayah Indonesia Lebih Luas [3].

Luas Wilayah Bangladesh Lebih Sempit [3].

Negara Berkembang, PBB mengkategorikan Indonesia dan Bangladesh adalah negara berkembang, Pendapatan per-kapita Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Bangladesh [4].
Economies by per capita GNI in 2012 [4]

Indeks Persepsi Korupsi: Tahun 2016 Indonesia berada pada rangking 90, sedangkan Bangladesh pada rangking 145.
Indeks Pesepsi Korupsi [5]

Corruption Perceptions Index [6]

Public trust in politicians:  data bank dunia (worldbank.org) pada tahun 2007 - 2017 kepercayaan publik terhadap politisi di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Bangladesh [7].

Public Trust in Politicians, Index (Indonesia 3.70) [7] 

Public Trust in Politicians, Index (Bangladesh 2.27) [7]

Jumlah Penduduk dan Konsumsi Listrik
Jumlah Penduduk dan Rata-rata Konsumsi Listrik - 2014 [8]

Rasio Elektrifikasi: Rasio elektrifikasi Indonesia (97.01 %), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Bangladesh (62.4 %).
Access to electricity (% of population) [9]

Pembangkit Listrik, Produksi Batu Bara & Natural Gas
Daya (MW) Kapasitas Terpasang PLN 2016 [10]

Pembangkit listrik di Indonesia di dominasi oleh PLTU.

Producers, net exporters and net importers of coal in 2016 [11]
Indonesia adalah produsen batu bara terbesar ke-5 di dunia, sebagian besar batu bara tersebut di ekspor ke negara lain.

Bangladesh Energy Generation by Fuel Type in 2011 [12]

Pembangkit listrik di Bangladesh saat ini didominasi oleh PLTG (Gas Alam).

Natural Gas Production Rank [13]

Bangladesh memiliki cadangan minyak dan batu bara yang kecil, tetapi sumber daya gas alam yang besar [14]. Bangladesh adalah produsen gas alam terbesar ke-27 di dunia [13], untuk mencukupi kebutuhan gas alam yang terus meningkat, Bangladesh berencana untuk mengimpor gas dari Qatar [15]. Impor LNG sebanyak 0,6 juta ton pada tahun 2018, kemudian 2,9 juta ton pada 2019 dan pada 2020 impor bisa mencapai 4,6 juta ton [16,17]. Perlu diketahui bahwa tidak semua gas alam digunakan untuk keperluan produksi listrik.

Pengunaan Gas Alam di Bangladesh [18]

Mari Kita Bahas
Dari data di atas dapat dilihat bahwa "indeks persepsi korupsi" dan "public trust in politicians" di Bangladesh lebih buruk dibandingkan dengan di Indonesia, tetapi  pemerintah Bangladesh berhasil melaksanakan introduksi PLTN, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa alasan utama berhasilnya introduksi PLTN di Bangladesh adalah:
  1. Kurang sumber daya energi. Gas alam yang diharapkan sebagai penopang utama dalam memproduksi listrik sudah tidak lagi mencukupi, tahun 2018 Bangladesh mulai mengimpor gas alam dari Qatar.
  2. Rasio elektrifikasi yang masih rendah (62,4 %), sepertiga dari penduduk Bangladesh belum menikmati listrik, bahkan hal ini menjadikan pergerakan "anti nuklir" tidak berkembang di sana. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah presentasi berjudul: "Stakeholder Involvement Activities for Successful Implementation of Rooppur Nuclear Power Plant (RNPP) project", dalam pertemuan IAEA-2017, dituliskan pada halaman ke-11:
No Anti Nuclear Movement was occurred in Bangladesh. Because 40% people stay out of light, they are in highly need of electricity, So, source of energy is immaterial to the people of Bangladesh [19].
Bila kedua alasan di atas diterapkan di Indonesia maka:
  1. Kurang sumber daya energi. Alasan ini kurang tepat, karena produksi batu bara di Indonesia masih sangat mencukupi, bahkan jumlah yang di ekspor lebih banyak dibandingkan dengan konsumsi dalam negeri.
  2. Rasio elektrifikasi yang masih rendah. Rasio elektrifikasi nasional di Indonesia sudah cukup tinggi (97.01 %). tetapi karena luasnya wilayah Indonesia masih ada beberapa daerah yang rasio elektrifikasinya masih rendah, jadi alasan ini dapat digunakan (hanya untuk daerah tersebut).

Rasio Elektrifikasi Indonesia - Juni 2017 [20]

PLTN dapat di gunakan di daerah yang rasio elektifikasinya rendah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara. Data ini juga memberikan penjelasan mengapa introduksi PLTN di Jepara dan Bangka Belitung sulit di lakukan. Rasio elektrifikasi di Bangka Belitung sudah 100% dan 94,50% di Jawa Tengah. Masyarakat di sana sudah merasa tercukupi kebutuhan listriknya, hampir seluruh warganya menikmati listrik 7 x 24 jam. So...they only able to see the risk, not the benefit of NPP.

Tentu berbeda dengan kampung yang gelap (tanpa listrik). Hidup akan berubah dengan adanya listrik, banyak perlalatan rumah tangga yang menggunakan listrik, seperti: lampu, TV, DVD player, radio, AC, pompa air, mesin cuci, setrika, kulkas, rice cooker, dispenser/water heater, kompor listrik, microwave, vacuum cleaner, Kipas angin, blender, hair dryer, mesin jahit, komputer, laptop, printer, gadget (hp/tablet), dll.

Harus diakui kebijakan tentang introduksi PLTN di Indonesia bisa dikategorikan kebijakan yang tidak populer. Faktanya ada beberapa kebijakan energi yang tidak populer, tapi kebijakan tersebut tetap dapat (bahkan harus) dijalankan, bagaimana ceritanya?

Alasan paling populer dan sering terjadi yaitu menghindari defisit besar APBN. Walaupun kebijakan seperti ini sering dimanfaatkan lawan politik (oposisi) untuk merebut hati rakyat, keterpaksaan pemerintah adalah alasan yang tidak dapat dihindari, beberapa kebijakan tersebut diantaranya adalah:

1). Kenaikan Harga BBM
Tujuan utama menaikkan harga BBM adalah mengurangi/mencabut subsidi. Kebijakan ini cendung akan diambil pada pertengahan masa pemerintahan (bukan di tahun politik) [21], diharapkan menjelang periode pemilihan berikutnya, kondisi ekonomi sudah pulih. sehingga elektabilitas sang petahana akan tetap terjaga. Bahkan pada tahun politik tertentu (2009) dilakukan pienurunan harga BBM.

Indonesia sekarang bukan negara net eksportir minyak lagi, tetapi sudah menjadi negara net importir minyak. lifting minyak yang dulu bisa mencapai 1,4 juta barrel/hari, sekarang sudah banyak berkurang.

Pemerintahan Jokowi-JK termasuk beruntung dalam masalah harga minyak dunia, penemuan cadangan minyak baru (Shale Oil) di benua Amerika [22] memaksa produsen minyak timur tengah untuk menaikkan kapasitas produksi dengan tujuan menurunkan harga, agar minyak mereka laku, walaupun sebagai imbas dari penurunan harga minyak, telah membuat krisis ekonomi di timur tengah.

Kebijakan lain yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK adalah dengan menerapkan harga pasar minyak [23], jadi harga BBM akan fluktuatif, diharapkan tidak terjadi kenaikan ataupun penurunan harga yang ekstrem, yang memicu penolakan (demonstrasi besar).

2). Konversi Minyak Tanah ke LPG
Subsidi minyak tanah makin memberatkan pemerintah, Rp 5 ribu harus dikeluarkan untuk tiap 1 liter minyak tanah. Konsumsi masyarakat diasumsikan memakai 10 juta liter minyak tanah, berarti Rp 50 triliun dihabiskan hanya untuk subsidi. Itu situasi pada 2008 lalu [24].

Meski awalnya banyak yang menyangsikan akan berhasil, konversi minyak tanah ke elpiji  menjadi fenomena menarik dan penting. Bukan sekadar persoalan teknis, konversi berhasil mengubah kebiasaan yang sudah mentradisi. Konversi bahkan membangkitkan geliat ekonomi [25]:
  • Biaya pemakaian elpiji untuk keperluan memasak lebih murah.
  • Industri kompor elpiji  beserta asesoris maupun tabung elpiji.
  • Usaha distribusi atau penjualan produk industri tersebut.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa karena alasan ekonomi (pengurangan subsidi), program konversi ini walau diragukan akhirnya berhasil dijalankan. Walapun ada penolakan dari sebagian masyarakat karena takut, khawatir tabung elpiji meledak dan terbakar [26].
Mari Kita Simpulkan
"Solusi yang paling tepat (misalnya untuk menghindari defisit yang besar pada APBN), waktu kontroversi yang singkat (termasuk kalau ada demo), elektabilitas yang tetap terjaga di tahun politik, hasil akhir yang bermanfaat" 
adalah kata kunci untuk melaksanakan kebijakan energi yang tidak populer.

Jika introduksi PLTN tetap akan dilakukan, untuk menghindari proyek ini "Gagal Bermanfaat", maka waktu kontroversinya harus dipersingkat, dengan kata lain waktu antara pemilihan tapak hingga operasi harus sesingkat mungkin, tidak seperti PLTN pada umumnya yang membutuhkan waktu 6 tahun konstruksi. Salah satu jenis PLTN yang bisa dipilih adalah floating NPP,  untuk langkah awal, sistem sewa mungkin yang terbaik, mengapa?  PLTN tinggal didatangkan, dipasang dan dioperasikan, kita hanya membeli listriknya saja, kalau NIMBY nya keras, yaa ...tinggal dipindah ke pekarangan "back yard" yang lain. kalau di tolak terus...pulangkan saja ke negara asal.

Waktu konstruksi s.d operasi sebaiknya tidak melebih siklus politik (5 tahun), mengapa? karena kebijakan yang kurang populer dapat menurunkan elektabilitas, elektabilitas dapat turun apabila manfaat belum dapat diperoleh (listrik) sementara kontroversi dan biaya yang sudah dikeluarkan sudah sangat banyak (triliyunan), dengan bahasa yang simpel bahwa proyek ini tidak bisa digunakan untuk "pencitraan", kalau belum bermanfaat (ada produksi listrik) pada tahun politik, isu seperti ini dapat dimanfaatkan oleh lawan politik (oposisi), apabila oposisi memenangkan pemilihan berikutnya, ada kemungkinan proyek ini dihentikan,  seperti cerita menyedihkan PLTN Bataan di Philipine [27].

Berkaca dari pengalaman Bangladesh, opsi PLTN  sebaiknya ditawarkan ke daerah dengan rasio elektrifikasi yang masih rendah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara. Mengingat data di atas hanya berdasarkan provinsi, diperlukan data yang lebih detail dalam skala kecamatan/kabupaten. Ada kemungkinan kecamatan/kabupaten di luar dari tiga provinsi di atas masih memiliki rasio elektrifikasi yang rendah. Mengapa data ini perlu? karena daya floating NPP yang tergolong kecil hanya bisa mencukupi kebutuhan tingkat kecamatan/kabupaten.

Note:
  1. Indonesia mengekspor batu bara, gas alam, tetapi mengimpor minyak bumi.
  2. Setelah konversi minyak tanah ke LPG, ada juga kemungkinan suatu saat nanti konversi LPG ke batu bara.
  3. Berkaitan dengan Introduksi PLTN, orang Bangladesh yang saya temui, lebih banyak bercerita tentang ketertarikan warga sekitar tapak, berkaitan dengan geliat ekonomi yang akan tumbuh di sekitar PLTN.
  4. Pada 2013 sekelompok ilmuwan Bangladesh dan diaspora global menyuarakan keprihatinan atas keselamatan dan kelayakan ekonomi model VVER-1000. Masalah, seperti ketidak sesuaian tapak terhadap keusangan teknologi model VVER-1000. Hingga pada tahun 2015, Rosatom menawarkan dua pembangkit listrik reaktor VVER-1200, dengan output kapasitas yang lebih besar 2.4 GWe [28]. Tipe VVER-1200 merupakan model terbaru yang dilengkapi dengan fitur "hydrogen recombiners" dan "core catcher" [29].
  5. Bangladesh pada tahun 2018 mengimpor batu bara, gas alam, dan minyak bumi.
  6. Alasan Bangladesh, yaitu "Kurang sumber daya energi" dan "Rasio elektrifikasi yang masih rendah (62,4 %)", saya tambahkan dalam daftar "Sejarah Perkembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)"  (https://bit.ly/2OD80IG)
  7. President of Rosatom Overseas Evgeny Pakermanov berpendapat Floating Nuclear Power Plant (FNPP) sesuai bagi kebutuhan Indonesia yang memiliki banyak pulau dan berintensitas gempa yang cukup tinggi [30].
  8. Pembangkit listrik tidak bisa dibangun terlalu jauh dari beban (pengguna listrik), karena akan terjadi penurunan tegangan. Gardu Induk (GI) dalam jarak yang cukup jauh dari pusat beban akan menyebabkan terjadinya penurunan tegangan. Pengintegrasian pembangkit tersebar (Distributed Generation) pada jaringan distribusi akan menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki penurunan tegangan [31]. Itulah alasan mengapa pembangkit listrik dibangun tersebar di banyak wilayah di Indonesia.
  9. Jenis PLTN lain (selain Floating NPP) yang yang memiliki masa kontstruksi agak pendek adalah SMR " typical large reactor projects can take up to ten years or more to build, SMRs should be able to be built in far less time, perhaps in as little as three years[32].
Referensi: