Minggu, 30 April 2017

Ban Meletus (kempes mendadak), Cara Mengatasinya ...

Ban yang meletus atau kempes mendadak pada saat mobil dalam kecepatan tinggi sangat berbahaya, perlu tindakan yang tepat agar tidak terjadi kecelakaan. Artikel ini saya tulis berdasarkan pengamatan yang saya lakukan pada video-video berikut:

Hal yang perlu dilakukan pada saat ban meletus dalam kecelakaan tinggi (di atas 60 km/jam):
Pertama: Jangan injak pedal rem secara mendadak (rem panik), jauhkan kaki dari pedal rem, karena hal ini akan mengakibatkan mobil tidak terkendali (spin ataupun terguling):

Sedan (lebih sulit berguling) [1]


Jeep yang berguling (flip) [2] <-- youtube direct link

Pada video pertama sedan berputar (spin) setelah direm secara mendadak, ini adalah kelebihan dari sedan yang tidak mudah terguling, karena kendaraan rendah dan lebar (lebar > tinggi), berbeda dengan kendaraan yang lebih tinggi (Jeep, MPV, SUV, Truk, Bus), kendaraan ini lebih mudah terguling. Pada video tentang Jeep di atas setelah mobil menepi, kemudian mobil direm mendadak (ada suara rem), mobil tidak terkendali, keluar dari aspal dan kemudian terguling.

Kedua: Jangan langsung menepi (keluar dari aspal/beton) pada kecepatan tinggi atau jangan berpindah jalur pada kecepatan tinggi, sebaiknya usahakan mobil tetap lurus. Menepilah setelah kecepatan berkurang (dibawah 40 km/jam). Menepi pada kecepatan tinggi meningkatkan probalilitas mobil keluar dari aspal/beton. Mobil lebih sulit untuk dikendalikan bila di atas tanah atau rumput, karena ban yang terpasang tidak didesain untuk bekerja maksimal selain di atas aspal/beton (terutama dalam kecepatan tinggi), sebagaimana dapat dilihat pada video di bawah ini:


Recreation Vehicle (RV) yang tak terkendali setelah menepi pada kecepatan tinggi [3]

Ketiga: Kendalikan kendaraan dengan menginjak pedal gas (hanya sesaat sampai mobil terkendali), kemudian lepas pedal gas perlahan-lahan, ATAU langsung lepas pedal gas. Ada perbedaan pendapat pada poin ketiga, yaitu apakah injak terus pedal gas sampai mobil terkendali kemudian baru dilepas (perlahan-lahan), ATAU langsung lepas pedal gas, tapi pada intinya jangan injak pedal rem secara mendadak (rem panik). kedua perpedaan pendapat tersebut dapat dilihat pada video dan komentarnya berikut:


Mengendalikan Truk Bila Ban Meletus [5] <-- youtube direct link

Pada video berikutnya anda bisa melihat mobil sport (sedan) dalam kecepatan yang sangat tinggi (327 km/jam) yang selamat karena tidak menginjak rem secara mendadak (rem panik) dan tidak menepi (keluar dari aspal) dalam kecepatan tinggi, sehingga mobil tidak berputar (spin) dan juga tidak terguling.




Kerusakan yang ditimbulkan [7]

Setelah mobil sport ini berhenti ban hilang dan hanya tersisa velg, jauh lebih baik dibanding bila terjadi spin kemudian berbenturan dengan mobil lain/pembatas jalan, kelebihan lain dari mobil jenis ini adalah diameter velg yang besar dan ban yang tipis, sehingga diamater velg dan diameter ban tidak berbeda jauh yang tentunya akan berpengaruh besar dalam pengendalian mobil bila ban meletus.

Note:
  1. Semua yang saya tulis di atas hanyalah teori yang perlu dilatih untuk menimbulkan refleks yang tepat saat mengalami ban meletus dalam kecepatan tinggi, hal yang tidak mungkin dilakukan kecuali anda adalah seorang pembalap yang dilatih untuk meminimalkan akibat kecelakaan.
  2. Bila ban depan meletus akan terasa di roda kemudi (stir), bila ban belakang meletus akan terasa pada kursi anda.
  3. Anda dapat melihat video yang lain dengan kata kunci "tire blowout" [7]
  4. Saat mengendari motor, saya pernah mengalami ban meletus (ban belakang), di perempatan harmoni, dari jalan Veteran  menuju Jalan Gajah Mada, saat itu kecepatannya sekitar 40 - 50 km/jam, refleks saya adalah saya tidak berani berbelok, hanya mengerem pelan-pelan, berhenti di depan harmoni plaza, bersyukur saat itu tidak jatuh, tentu dapat dimengerti karena ban yang digunakan bukan ban tubeless, saat terkena ranjau paku ban dalam bisa langsung robek dan kempes.
  5. Pada video terakhir ada yang berkomentar bahwa di Jerman 200 Mph adalah legal, tentu berbeda dengan di negara kita.

Referensi:
[1] https://youtu.be/e1d9e7WsHYg
[2] https://youtu.be/T2fdl6eeXpk
[3] https://youtu.be/dSgz61yn-4M
[4] https://youtu.be/lkwOE1yKY5c
[5] https://youtu.be/8znCgvHMb-g
[6] https://youtu.be/PYcL1rBE_Ms
[7] https://a-a.d-cd.net/7a2e792s-960.jpg
[8] https://www.youtube.com/results?search_query=tire+blowout


Selasa, 24 Januari 2017

Warisan Cita-Cita

Beberapa kali kita melihat anak pejabat/mantan pejabat  dicalonkan dalam Pilkada ataupun Pemilu. Suatu hal yang lumrah bahwa kita ingin masa depan lebih baik, hal tersebut terkadang juga diterapkan untuk anak kita, kita ingin anak kita memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan orang tuanya, karir yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, harta yang lebih banyak, rumah yang lebih bagus, kendaraan yang lebih mewah, dst ....atau setidaknya menyamai/setingkat dengan orang tuanya....Secara simpel kita ingin anak kita bisa dibanggakan.

Menurutu KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) cita-cita [1] adalah :
  1. Keinginan yang selalu ada di dalam pikiran.
  2. Tujuan yang sempurna (yang akan dicapai atau dilaksanakan).
Kadang orang tua mengutarakannya secara lisan:
"Nak nanti besar sekolah di kedokteran ya"
"nanti kerja di perusahaan minyak ya"
"nanti kamu masuk partai ya....meneruskan karir politik ayah"
“kamu kuliah di ekonomi ya...biar bisa meneruskan bisnis keluarga”
Terkadang kita lihat keadaan yang kontradiktif, orang yang sudah dianggap berhasil dalam karir, pendidikan dan ekonomi oleh orang-orang disekitarnya, tetapi masih dianggap kurang berhasil oleh orang tuanya, hal ini disebabkan kelas ekonomi/karir/pendidikan orang tuanya masih lebih tinggi dibandingkan anaknya. Sebagai ilustrasi, kalau orang tuanya Camat, dia ingin anaknya menjadi Bupati. Kalau orang tuanya Bupati ingin anaknya mejadi Gubernur, dst.

Kadang, kekhawatiran orang tua bahwa anaknya tidak mendapatkan sekolah (pendidikan) ataupun pekerjaan (karir) yang bisa dibanggakan, membuat hal-hal seperti ini bisa terjadi:
  1. https://bit.ly/2LPENEK   [2]
  2. https://bit.ly/2ClfTh9       [3] 
  3. https://bit.ly/2C9t7x3      [4]
    Pertumbuhan (jumlah) penduduk yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan (jumlah) lapangan kerja ataupun sarana pendidikan. Persaingan untuk memperoleh pendidikan/lapangan kerja semakin ketat.

    Berbeda dengan negara-negara maju, pertumbuhan penduduknya cenderung tetap, bahkan negatif. Walapun jumlah lapangan kerja tidak bertambah, jumlah angkatan kerja semakin menurun, sehingga pengangguran relatif rendah, sebagian dari mereka bahkan tidak tertarik dengan segmen pekerjaan tertentu seperti misalnya buruh pabrik, tukang batu, pekerja pekerbunan, cleaning service, sopir, sehingga pekerjaan-pekerjaan tersebut diisi oleh orang-orang asing (expatriate).

    Sebagaimana di negara kita, Kalangan terdidik (S1 - S3) cenderung gengsi untuk mengambil pekerjaan tertentu, yang bisa diisi pekerja tanpa pendidikan tinggi. Memang sangat butuh keberanian untuk melawan gengsi untuk mengambil pekerjaan seperti: Pedagang kecil, tukang ojek, buruh pabrik. Kalangan terdidik cenderung memilih menganggur daripada mengambil pekerjaan yang gensinya kurang.

    Note:
    1. Jikalau dalam pendaftaran dan seleksi suatu pekerjaan atau pendidikan (ikatan dinas) kita mengeluarkan dana ratusan juta, sebenernya kita sedang daftar seleksi atau ndaftar MLM, bisa dibayangkan berapa bonus yang didapatkan para upline-nya.
    2. Gaya hidup mewah para upline ini kadang memunculkan generasi yang tertipu, mereka mengira pekerjaan/jabatan tertentu menjanjikan kekayaan, merekapun mendaftar sebagai downline dengan biaya yang banyak, tetapi ternyata gajinya sedikit.
    3. Berhasil lolos seleksi pada sekolah ber-ikatan dinas, bagaikan berhasil mendapatkan pekerjaan.
    4. Bukan hal yang mudah bagi kita untuk menghadapi godaan membantu anak secara ilegal, terutama bila kita mempunyai uang/pengaruh, karena kita cenderung malu bila anak kita tidak memiliki pendidikan/pekerjaan yang baik.
    5. Dalam suap terkandung banyak unsur kezaliman, seperti mengambil hak orang lain, memengaruhi keputusan penguasa sehingga merugikan pihak lain. Bagi pemberi diperbolehkan jika tidak memberikan suap, dia tidak akan mendapatkan haknya atau akan diperlakukan secara zalim. Sedangkan, bagi penerima hukumnya haram karena dia tidak berhak menerima hal itu. Misalnya, seseorang yang mengurus sesuatu ke aparat pemerintahan. Sang aparat tidak akan mengurus kebutuhannya jika tidak diberi suap [5].
    Referensi:
    [1] http://kbbi.web.id/cita
    [2] http://news.okezone.com
    [3] http://nasional.republika.co.id
    [4] http://www.jpnn.com
    [5] http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/16/04/22/o60ws617-suap-karena-terpaksa-bolehkah