Jumat, 09 September 2016

Public Trust (Kepercayaan Masyarakat)

Pada musim gugur yang sejuk, dengan temperatur 18 - 30 C, di negeri gingseng, kami menghabiskan beberapa minggu di sebuah kota kecil di tengah-tengah semenanjung Korea, Daejeon atau "a grand field" dalam bahasa inggris, kota kecil yang berpenduduk 1,5 juta jiwa [1], kami melewati hari-hari dengan duduk dalam ruang kelas training, diselingi dengan kunjungan pada fasilitas nuklir pada akhir pekan.

2016, Presentasi

Pesertanya berasal dari negara Asia Tenggara, Asia  Selatan dan Timur Tengah. Belakangan memang jumlah peserta training dari timur tengah semakin banyak. sangat mungkin berkaitan dengan UEA (Uni Emirat Arab) dan Iran yang sedang dan sudah memiliki PLTN, yang besar kemungkinan memicu negara tetangganya untuk ikut-ikutan membangun [2].

Tiba saat nya untuk presentasi masing-masing negara tentang kondisi dan rencana program nuklirnya. Saya pun ikut serta dalam presentasi tersebut, dalam presentasi, saya mengutarakan:

We plan to built 10 MW HTGR – Experimental NPP in Serpong
Since 1980s up to now we delay and delay NPP Program:
  • 1967 – 1998, we have chance to built because of strong leadership
  • 1999 – Now, public acceptance problem, then it becomes political issues, especially during general election.
We try and try to educate public about the high safety system of NPP
Seorang peserta dari Mesir bertanya
"what is strong leadership?"
kemudian saya pun menjawab:
"He was strong leader...just like Hosni Mubarak in your country [3]"
yang saya maksud dengan "strong leadership" adalah masa orde baru, siapa yang berani protes pada masa orde baru kalau presidennya sudah mengambil kebijakan strategis. Setelah berakhirnya orde baru "public acceptance" menjadi masalah dan kemudian menjadi isu politik, dimana tidak satupun bakal calon pimpinan eksekutif ataupun bakal calon anggota legislatif yang berani/mau memasukkan pembangunan PLTN dalam program kerjanya.

sesaat kemudian peserta dari Bangladesh bertanya:
"What is your national planning about the electrical demand in the future, why you didn't built it?"
kemudian sayapun menanggapi:
"During our strong leader, he did not decide to built NPP, may be because at his time our population was only 100 millions people and our oil production was 1.5 million barrel/day, but now...our population is 255 millions people and our oil production is 900 thousand barrel/day, we need more energy, but now we are facing public accepatance problem"

2009, My first time in Korea 

Dulu sepulang training dari Korea sekitar tahun 2009, saya memberikan presentasi di kantor bahwa dalam sejarah Korea:
Pada tahun 1978, Korea Selatan mulai mengoperasikan PLTN pertamanya, dengan perjanjian kontrak transfer teknologi, Pada tahun 1998 Korea Selatan berhasil membuat PLTN produksi dalam negeri, PLTN memasok sepertiga kebutuhan listrik mereka.
kemudian diantara para hadirin ada yang bertanya:
"kalau dari perjalanan sejarah Korea Selatan bisa melakukan hal tersebut, mengapa kita tidak bisa?"
kemudian saya menjawab:
"Pada saat PLTN pertama di bangun di Korea Selatan, pemerintah Korea yang memutuskan, publik tidak memberikan banyak respon karena saat itu publik belum tahu banyak tentang keuntungan ataupun kerugian (bahaya) PLTN, tetapi seiring berjalannya waktu, Korea Selatan semakin maju dan pada saat bersamaan kepercayaan rakyat (public trust) terhadap pemerintahannya semakin tinggi, sehingga untuk pembangunan PLTN berikutnya cenderung mudah tanpa penolakan dari rakyatnya"
"Berbeda dengan Indonesia, kepercayaan rakyat (public trust) terhadap pemerintahannya masih kurang, sehingga untuk meyakinkan rakyat tentang manfaat dari PLTN bukanlah hal yang mudah, kadang....tiap kali ada rencana pembangunan PLTN, sebagian rakyat hanya memandangnya sebagai kegiatan mencari proyek"
Memang tak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya masih kurang, namun saya ingin menyatakan bahwa hal ini adalah hal yang aneh, setelah orde baru berakhir, rakyat sangat bebas untuk memilih siapa saja yang dapat duduk dalam lembaga legislatif (wakil rakyat) dan pucuk pimpinan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, kepala desa), bagaimana bisa mereka memilih orang yang tidak dapat dipercaya??

bukankah para pimpinan eksekutif dan legislatif tersebut yang nantinya akan mengambil kebijakan-kebijakan strategis dan juga memilih orang orang penting, termasuk para pimpinan yudifkatif, pimpinan penegak hukum dan para menteri??. Munculnya tokoh-tokoh seperti Jokowi, Tuan Guru Bajang, Ridwan Kamil, Risma adalah pilihan rakyat.

Dalam sistem demokrasi, lahirnya para pemimpin yang kurang amanah pada dasarnya diawali oleh kesalahan rakyat dalam memilih para pemimpinnya, kesalahan itu disebabkan oleh:
  1. Rakyat yang tidak mengenal calon pemimpinnya, kebaikan dan keburukan mereka, saya pun sering bingung ketika memilih caleg DPRD tingkat 1 dan 2, tidak ada seorang pun yang saya kenal sedikitpun kebaikan dan keburukannya. Hal ini lumrah untuk sebuah negara besar dimana tidak mungkin semua orang saling mengenal, tapi sangat aneh ketika kita salah dalam memilih kepala desa, pada umumnya rakyat desa cenderung mengenal calon kepala desanya dengan baik.
  2. Money politic, pada negara berkembang dimana sebagian rakyatnya kurang mampu, politik uang sangat berpengaruh, berbeda dengan negara-negara kaya, memberikan 100 ribu rupiah pada pemilu di negara maju atau kaya minyak adalah hal yang sia-sia.
Apabila kita menjual suara dengan sejumlah uang (money politic)...Jika menerima uang tersebut kita anggap sebagai menerima gratifikasi (korupsi), maka kitalah sebagai rakyat yang sudah medahului menerima gratifikasi ....dan jangan heran bila orang yang telah kita pilih tersebut juga nantinya melakukan korupsi...dan ada kemungkinan uang hasil korupsi tersebut dipakai lagi untuk biaya politik (money politic) pemungutan suara periode berikutnya....sebuah siklus politik uang.
Note:
  1. Ada negara peserta tidak mengalami masalah dengan "public acceptance" dengan PLTN (Bangladesh). menurut peserta training tersebut walaupun tetap ada yang menolak tetapi lebih banyak yang menerima, melalui usaha sosialisasi yang mereka lakukan, dan juga karena rasio elektrifikasi yang masih rendah (62,4 %), serta kurangnya sumber daya energi. Kalau di Indonesia tetap banyak juga yang setuju, entah berapa persen, karena belum ada jajak pendapat nasional, tetapi ada kemungkinan pada umumnya NIMBY [4]. Jadi ada juga negara lain yang tetap membangun, dalam artian proyek pembangunannya dijaga ketat oleh aparat bersenjata.
  2. Negara lain yang tidak mengalami masalah dengan public acceptance adalah Jordan, sebuah negara kerajaan, pada negara kerajaan rakyat cenderung mengikuti kebijakan raja.... btw, bagaimana kalau raja Jogja mau bangun PLTN apakah rakyatnya setuju? belum tentu juga karena kekuasaan raja Jogja tidak seperti raja Jordan.
  3. Ada juga negara yang tidak mengalami masalah dengan "public acceptance" tetapi mengalami kendala finansial dengan pembiayaan pembangunan (Vietnam), negara tersebut didominasi partai komunis [5]. kalau Indonesia kemungkinan tidak mengalami masalah, bisa mencari "investor" ataupun "ngutang lagi".
  4. setelah kecelakaan Fukushima, memang ada pro dan kontra penggunaan PLTN di Korea Selatan, sepertiga listrik mereka berasal dari PLTN, hingga saat ini mereka tetap menggunakan PLTN, salah satu pertimbangannya karena kurangnya sumber daya energi alternatif.
  5. Tahun 2007 Qatar sudah memiliki rencana yang matang untuk membangun PLTN, tetapi kemudian ditunda, dikarenakan negara tetangga mereka UEA membangun PLTN, mereka menganggap 4 PLTN yang sedang dibangun di UEA sudah mencukupi kebutuhan mereka, perlu diketahui terdapat interkoneksi jaringan listrik antara UEA dan Qatar.
  6. Cita-cita membangun pemerintahan yang baik dan kesejahteraan rakyat masih mungkin dilakukan dengan pemilu/pilpres/pilkada yang baik, setelah itu terserah rakyat yang menentukan apakah PLTN perlu dibangun ataupun tidak, PLTN bersifat mubah, bukan haram ataupun wajib.
Referensi:
[1] https://simple.wikipedia.org/wiki/Daejeon
[2] http://arifisnaeni.blogspot.co.id/2012/02/sejarah-perkembangan-teknologi-nuklir.html
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Hosni_Mubarak
[4] https://en.wikipedia.org/wiki/NIMBY
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Vietnam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar